FLAGSHIP store Louis Vuitton di Shanghai, China. Kini brand-brand mode seperti Louis Vuitton, Chanel, menetapkan kawasan Asia sebagai pasar utama mereka. Bagi banyak pelaku mode, kiblat fashion memang mengarah ke Eropa dan Amerika. Namun, berbicara pasar, Asia merupakan masa depan.
Kekuatan pasar mode Asia menjadi topik utama dalam Asia Fashion Summit 2011yang merupakan salah satu agenda utama dalam ajang Asia Fashion Exchange (AFX) di Singapura, yang akan berakhir pada 22 Mei mendatang.
Dalam Asia Fashion Summit, sebanyak 30 pelaku mode dan fashion insider mancanegara mengikuti seminar dan diskusi mengenai masa depan dunia mode, terutama tentang meningkatnya konsumerisme di Asia selama beberapa tahun terakhir.
Ted Tan, Deputy Chief Executive Spring Singapore -penyelenggara Asia Fashion Summit 2011- mengatakan bahwa Asia merupakan kawasan yang terus berkembang, khususnya dalam bidang konsumerisme mode.
“Meningkatnya taraf hidup masyarakat Asia, terutama di kelas menengah atas, menarik perhatian pelaku mode internasional, khususnya dari Eropa dan Amerika,” papar Tan.
Tan mengungkapkan, prediksi angka fantastis dari konsumsi masyarakat Asia di bidang mode, tentu saja menjadi pemikat utama buyer asing. “Pada 2013, Euromonitor memperkirakan ritel fashion dan alas kaki di Asia Pasifik bisa mencapai angka USD481 miliar,” sebutnya.
Sudah bisa dipastikan China sebagai negara berpenduduk terpadat di dunia akan menjadi pasar terbesar. Bahkan, saat ini China merupakan pasar utama bagi label produk mewah dari Eropa dan Amerika dengan total pembelanjaan mencapai USD16,6 miliar pada 2010.
Karena itu, wajar bila sejumlah label mode eksklusif layaknya Chanel, Louis Vuitton, Gucci, dan Salvatore Ferragamo saling berlomba memikat perhatian konsumen di Shanghai dan Beijing, dua kota mode utama Asia.
Baru-baru ini, Ermenegildo Zegna, label busana pria papan atas, melaporkan keuntungannya sepanjang 2010 meningkat tiga kali lipat menjadi 60 juta Euro.Adapun kontribusi terbanyak dari konsumen China. Tidak hanya dari segi konsumsi, Asia juga memikat pelaku mode internasional dari sisi kreativitas. Hal ini menunjukkan bahwa Asia punya kekuatan tersendiri di bidang mode, bukan hanya sebagai konsumen, juga sebagai produsen.
Di runway internasional, mulai New York hingga Paris, kerap terlihat nama-nama Asia berlaga, seperti Alexander Wang, Jason Wu, dan Prabal Gurung.Adapun di ranah modeling, wajah-wajah Asia pun tak kalah mempercantik runway internasional. Di antaranya, Liu Wen yang menjadi model Asia pertama untuk show Victoria’s Secret ataupun Sui He yang menjadi model Asia pertama di pertunjukan Ralph Lauren di New York Fashion Week.
Sementara, label mode lokal, seperti Charles & Keith dari Singapura, kini sudah memiliki posisi yang cukup mantap di pasar internasional. Teknologi juga turut membantu menaikkan pamor pasar Asia di peta konsumerisme dunia. Adanya situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter semakin membuat pelaku mode internasional bergairah menjajal pasar Asia.
“Teknologi, khususnya internet, mengubah lanskap ritel secara permanen karena memengaruhi pola konsumsi konsumen,” papar Tan.
Di sejumlah situs e-commerce, mulai yang berskala internasional seperti e-Bay maupun skala regional seperti StyleMint, mencatat bahwa konsumen Asia menempati porsi besar pembelanjaan. Hal tersebut dituturkan Macala Wright Lee, CEO Fashionably Digital, dalam seminar “Fashion’s Brave New World: The Impact of Social Media on How We Design, Market, Brand and Retail.” Douglas Benjamin, Creative Director Raoul, label mode lokal Singapura, menyatakan bahwa saat ini e-commerce dan fcommerce memegang peranan penting untuk pasar ritel.
“Dengan media sosial, label mode bisa menjangkau konsumen lebih dekat,” ujarnya, sembari menambahkan, Raoul pun turut memeluk kekuatan e-commerce dengan“ menempatkan” koleksi di butik online Shopbob.
Ajang AFX menjadi kendaraan untuk menarik perhatian pelaku mode internasional dengan trade show Blue Print sebagai highlight. Lebih dari 100 label mode dari kota-kota mode Asia, termasuk Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Beijing, Hong Kong, Manila, dan Singapura, mempresentasikan koleksi mereka di hadapan 200 buyer mancanegara.
“Tahun kemarin, kami mendapatkan hasil yang menggembirakan dari Blue Print dan selama dua musim terakhir, kami sudah memasarkan produk ke Eropa, di Italia dan Inggris. Jadi, saya sangat antusias dengan Blue Print 2011,” katanya.
Sementara, Kleting Titis Wigati, desainer muda Indonesia yang membawa labelnya, KLE, ke ajang Blue Print Singapura, mengaku grogi sekaligus antusias.
“Jujur, kami gugup tapi ini adalah kesempatan besar buat desainer muda seperti kami untuk memasuki dan mempelajari industri ritel,” tutur Kleting, yang datang bersama “serombongan”desainer muda Indonesia lain, termasuk Dana Maulana dan Adrianus Rama Dauhan dari Danjyo Hiyoji, Amot Syamsuri Muda dari Isis, dan Soetjipto Hoeijaja dari Soe.Hoe.
“Semoga hasilnya nanti menggembirakan,” ucapnya, disambut anggukan setuju teman-temannya.
Sc : OkeZone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar